Oleh : Frans Margo. Hallyu Wave atau yang dalam medium musik anak muda dikenal dengan nama Korean Pop (K-pop) seperti sedang kehabisan ide segar setelah rencana ekspansi boyband dan girlband-nya ke Amerika Serikat (barometer blantika musik pop dunia), Eropa Barat dan Amerika bagian Selatan menuai hasil yang serba "nanggung". Pun di Jepang, rating K-pop pun mulai menurun. Apa betul "kematian" K-pop datang lebih cepat dari yang ditakutkan jutaan fans-nya?
Sudut pandang tulisan ini sendiri lahir setelah penulis menyimak gelaran mega-event SM Town III Live in Jakarta 2012 di Stadion Utama Gelora Bung Karno beberapa waktu yang lalu (22/9). Event megah yang sering disebut SM Town ini adalah yang perdana diadakan di Indonesia. Menjadi kegembiraan tersendiri bagi para fans karena SM Entertainment (artiste management terbesar di Korea Selatan) akhirnya menghadirkan seluruh artis didikannya (mulai dari BoA, TVXQ, Super Junior, SNSD hingga f(x)) secara full house serta dalam mood yang high-octane, yaitu 4 jam non-stop.
Nah, kembali ke pembahasan pertanyaan di paragraf pertama, jika dipuji telah berhasil, mereka sama sekali gagal mengambil ceruk pasar yang optimal. Buktinya, Wonder Girls (salah satu girlband papan atas yang terkenal dengan hit Nobody) pada tahun 2009 tidak berhasil meraih momentum terbaik walau sempat berduet dengan The Jonas Brothers (bibit emas paling anyar Walt Disney; juniornya Britney Spears, Christina Aguilera).
Prestasi awalnya memang tiada duanya. Hits Nobody yang masuk ke urutan 27 di tangga nada Billboard Hot 100 Chart membuat Wonder Girls adalah girl group pertama Korsel yang sanggup demikian. Sempat tinggal sementara waktu di AS dan bingung entah mau ke jalur musik full English atau tetap berbahasa Korea agar bisa bersaing dengan musikus AS, Park Jin Young, bos JYP Entertainment, akhirnya mengubah haluan dengan comeback di Seoul dengan "alibi" album baru, Wonder World.
Sementara itu, SNSD, yang dianggap sebagai grup tersukses yang pernah ada, belum banyak memberikan warna baru, konon lagi menggerakkan tren bermusik di dunia barat. Kesembilan gadis yang ditengarai menjalani operasi plastik memang sempat mendapat kehormatan tampil di Late Show with David Letterman dan Live! With Kelly serta membawakan hits The Boys di depan jutaan pemirsa televisi. Namun, jelas sebait single the Boys bukanlah wonder hit Gee yang kemudian bisa mengubah pendulum blantika musik barat. Bisa jadi K-pop mulai terjebak oleh sifat genre musiknya sendiri, yaitu bubblegum pop yang cepat digemari, sekaligus cepat pula terlupakan lantas menjemukan. Untuk hal yang satu ini, Billboard Chart AS menjadi saksi nyata betapa cepatnya karier geng boyband macam New Kids on the Block, Boyzone, Backstreet Boys, dan Westlife mati pascaklimaks berkaryanya tercapai hanya dalam beberapa tahun.
Nah, secara musikalitas, boyband dan girlband yang sebelumnya memiliki ciri khas tersendiri, entah itu agak hip hop, electropop, feminine-pop atau girlie mulai terasa homogen. Tahun ini menjadi tahun mature dan boyish-nya para girl group. Entah kebetulan atau tidak, pada tahun ini, secara hampir bersamaan SNSD, Wonder Girls, dan After School menghadirkan musik yang banyak terinspirasi dari sifat girl power atau sekalian androgyny girlgroup Inggris, Spice Girls.
Lantas jika pun K-pop dibilang gagal, rombongan penyanyi yang rata-rata dikontrak 10 tahun ini tergolong ke dalam pionir artis Asia yang sukses berkesempatan manggung secara besar-besaran di blantika musik Barat. Lihatlah betapa gelaran SM Town Live in Europe (2011) mendapat highlight besar dari media massa mainstream. Itu pun masih ditambah dengan pertunjukkan serupa di Madison Square Garden, AS. Betapa mengharukannya (bagi bangsa Korea Selatan) saat para bule bisa ikut berasyik masyuk melafalkan lirik berbahasa Korea, bahasa yang baru mengglobal belakangan ini! The New York Times pun terus menerus menggali angle cerita alternatif soal kegemilangan K-pop, entah itu soal musikalitas atau perbandingan head-to-head dengan ikon pop Barat saat ini: Justin Bieber.
Begitupun kedigdayaan K-pop di pusaran musik pop belahan timur, yaitu Jepang-Taiwan-China-Hong Kong memang masih belum bisa tertandingi. Sampai-sampai, karier para duta K-pop sanggup bersanding dengan artis pop setempat, semisal AKB48 dan SNSD yang sempat bertengger sebagai yang pertama dan runner up sewaktu album terbaru keduanya diluncurkan beberapa waktu yang lalu. Boyband dan girlband dianggap sukses melanjurkan estafet invasi demam Hallyu yang dimotori oleh serial-serial drama tv Korea yang edgy.
Demikianlah negara Asia Timur di sekelilingnya senantiasa menjadi target ekspansi pasar the Big Three: SM Entertainment, JYP Entertainment, dan YG Entertainment. Meski kemudian, fakta baru yang dilansir dkpopnews, artis-artis K-pop mulai menghilang dari siaran tv Jepang, termasuk Fuji TV yang paling awal mendorong masuknya K-pop. Sentimen nasionalis mulai membuat rating acara K-pop menurun (hanya TVXQ dan SNSD yang sanggup bertahan) dan pada akhirnya meruntuhkan dominasi K-pop. Bisa-bisa, Jepang "sembuh" dari "demam" K-pop.
Integrated training untuk dunia entertainment K-pop, seperti yang diucapkan Park Jin Young (JYP) dalam sebuah wawancara yang memuji kejeniusannya melahirkan bintang, memang masih menyimpan seabrek potensi yang bisa digali lagi. Kalau tidak demikian, tentulah Akon (ikon R&B kontemporer AS) tidak ingin berduet dengan Wonder Girls, sementara Teddy Riley (Grammy Award winning composer; membuat lagu untuk mendiang King of Pop, Michael Jackson) juga tidak akan membuatkan hits The Boys untuk SNSD.
Lantas, jika industri barat memoles bintangnya secara instan, semisal mendapatkannya lewat ajang The X Factor atau American Idol, maka di ranah K-pop, artis-artis yang bertebaran belakangan ini telah dibibit sejak usia belasan tahun. Misalnya saja SM Entertainment yang mengaudisi ratusan gadis remaja sebelum mendapatkan 9 terbaik di antaranya untuk dijadikan SNSD. Itupun dengan catatan di-training selama bertahun-tahun, baik secara fisik, musik, koreografi maupun bahasa (artis K-pop rata-rata juga menguasai bahasa Jepang dan Mandarin sebagai modal ekspansi). Dan baru-baru, terkuak fakta bahwa sebagian idol K-pop malah bukan orang Korea sama sekali, misalnya boyband EXO atau Super Junior-M milik SM Entertainment.
Sebagai tambahan, K-pop tetap akan terus eksis berkat strategi visual-oriented yang jitu. Saat artis-artis Hollywood hanya terlihat cantik di depan kamera atau di depan panggung, maka artis K-pop dicitrakan memiliki natural beauty bahkan ketika di bawah panggung. Bahkan foto-foto artis SM Town naik pesawat di bandara Incheon saja menjadi bahan bacaan yang sangat menarik di forum-forum "bawah tanah"; tempat para fans saling berbagi fanpics atau fan-made video.
Alhasil, walau menikmati K-pop adalah bentuk kegemaran yang mahal karena tingkat persuasifnya bisa membuat fans bela-belain membeli segala album, merchandise, dan tiket konser, tetap saja jutaan fans begitu adiktif terhadapnya. Inilah perbedaan mendasar musik barat dengan K-pop: barat menjual musik, K-pop menjual kebintangan. Teori ini terbukti dengan kehebatan pengaruh artis K-pop yang dipercaya menjadi endorsement berbagai produk.
Sementara itu, kejutan lainnya juga datang dari rapper PSY. Hits Gangnam Style memecahkan rekor hits Gee milik SNSD sebagai MV (Music Video) K-pop yang paling banyak ditonton. Selanjutnya, Gangnam Style juga memuncaki chart iTunes di 17 negara, termasuk Amerika Serikat!
Meski PSY sulit berkelit mengatakan dirnya tidak meniru tren shufflin" dance lewat hits Party Rock Anthem milik LMFAO sama sekali, tapi kejutan ini layak diapresiasi. PSY yang memiliki fisik buntel, mata sipit, dan mimik yang jauh dari pretty boys memecahkan pakem standar K-pop. Paling tidak, PSY berhasil menjual musik yang diinginkan pasar, bukan sekadar wajah ganteng. Pada akhirnya, K-pop hanyalah salah satu spektrum penyebar Hallyu Wave yang telah terlebih dahulu merangsek lewat drama televisi, reality show, dan sinema.
Sebagai contoh, kini, gadis-gadis SNSD malah mulai menyebar ke berbagai medium entertainment seperti disinggung di atas sebagai fase selanjutnya setelah bernyanyi dan menari. Entah ini terobosan baru yang fans harapkan selama ini atau tidak, para penggiat K-pop sebaiknya tidak membuat fans kebosanan melihat hits dan konser K-pop yang di-retro-fit terus. Hwaiting, Dongsaeng & Oppa! ***
*Hwaiting = Tetap berjuang
Oppa = sebutan oleh perempuan terhadap lelaki yang lebih tua
Dongsaeng = sebutan oleh laki-laki/perempuan terhadap laki-laki/perempuan yang lebih muda
(Penulis adalah pemerhati dunia lifestyle anak muda. Aktif menulis di Majalah Aplaus the Lifestyle Twitter: @fransmargo)